Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 17 Mei 2020

PERSIAPAN LEBARAN 2020

Seharusnya tanggal 20 Mei ini saya akan terbang menggunakan pesawat Batik dengan rute HLP-JOG sepulang hari terakhir menjelang hari raya Idul Fitri. Tapi manusia hanya bisa berencana. Tiket penerbangan tersebut sudah saya refund dan sekarang saya harus mempersiapkan lebaran seorang diri. Tanpa di dekat orang tua, saudara, kerabat, kawan masa kecil, dan lainnya seperti waktu-waktu yang lalu.

Sedih? Tentu. Tapi ini bukanlah lebaran pertama saya jauh dari keluarga. Tahun 2016-2017 saya sudah pernah merasakan suasana puasa lebaran yang lebih berat. Tidak sepenuhnya berat sih, karena saya tetap berusaha menikmatinya. Itu merupakan tahun-tahun saya bekerja di dunia ritel. Tahun pertama ramadhan bekerja di dunia ritel terasa lebih ringan karena saya tinggal bersama sahabat ketika kuliah dulu. Saya masih anak baru dan dia merupakan senior, gaji saya masih belum 100% dan dia sudah menikmati bonus. Dan karena kebaikannya, saya hidup sebagai parasit, mengandalkan teman saya selama di perantauan. Selain kawan lama, di perantauan ini saya juga bekerja bersama seorang kakak kelas yang menjadi atasan langsung saya di toko. Another person I can leached on, menang banyak.

Sepanjang Ramadhan saya harus bekerja keras bagai kuda. Beras 5 kiloan sudah seperti bola voli, lempar sana lempar sini. Tumpukan minyak goreng kartonan tidak terhitung berapa banyaknya harus segera dipajang. Belum lagi daging, ayam, ikan yang peminatnya juga minta ampun. Lelah, tapi saya bahagia. Terutama ketika di hari itu tidak ada komplain dari pelanggan. Orang berpuasa dan antrian itu tidak bersahabat, jadi biasanya adaaaa saja pelanggan yang membuat kami harus bernapas lebih panjang. Dan seberapa pun beratnya saya tidak bisa berkeluh kesah panjang-panjang, karena ini jalan yang saya pilih sendiri secara sadar. Selain itu, tim di toko sudah seperti saudara sendiri. Namun sayangnya, setelah drama yang cukup menguras tenaga, saya harus melewatkan lebaran seorang diri, karena kawan saya harus mutasi dadakan dan atasan saya tentu mendapat hak untuk cuti di hari pertama lebaran.

Saya masih ingat di malam takbiran toko masih sangat ramai. Masih banyak orang yang berbelanja partai besar dan saya harus pulang cukup larut, walau esok harinya saya masih harus bekerja sejak shift pagi. Tampaknya saya terlalu lelah malam itu. Saya baru terbangun ketika mendengar suara tetangga yang sibuk saling menyapa sepulang dari solat Id. Saya melewatkan waktu solat Id perdana saya di perantauan.

Di tahun berikutnya pun saya masih menghabiskan waktu Ramadhan di toko. Bedanya saya ditempatkan di salah satu toko teramai selama musim seasonal puasa, yang sales per harinya bisa mencapai satuan Milyar Rupiah. Saya rasa selain bekerja, waktu saya hanya habis untuk tidur. Waktu bekerja pun tidak cukup hanya 8 jam sehari. Tampilan awal shift yang rapi jali pasti berakhir acak-acakan, rasanya seperti sehabis pergi ke medan perang, terutama sehabis pulang shift malam. Kami selalu merasa ngeri bila ada mobil ekspedisi yang datang adalah truk tanpa tail gate, yang artinya kami harus bongkar manual. Tidak ada bedanya wanita atau pria, saya pun tetap harus ikut mengangkut barang. Tapi kalau barangnya sudah berupa gula sak-sakan saya mundur teratur, tahu diri lah. Pernah sepulang shift malam, saya mendapati tangan yang jadi hijau, dari telapak tangan hingga pergelangan tangan. Awalnya kaget, “Waduh kenapa pula ini? Saking kecapekannya kah?” pikir saya waktu itu. Tapi ternyata bukan, itu hanya tanda saya sudah mengangkat berpuluh-puluh atau beratus kardus sirup. Cat kardusnya luntur ke tangan saya.

Ada satu lagi tugas yang melelahkan tapi membuat senyum saya lebar tidak tertahan, menghitung sales. Pernah lihat uang 1 miliar cash? Saya bisa sombong, saya pernah, padahal saya tidak bekerja di bank. Menghitung uang itu membuat ngantuk lo, kepala kasir saya sampai hapal dan suka geregetan kalau saya lama sekali menghitungnya apalagi kalau salah-salah hitungnya. Karena itu biasanya dia menyediakan cemilan agar saya tetap bisa melek. Thats why kadang di bulan puasa sales sudah dihitung malam harinya, karena saya tidak bisa menghitung sales sambil ngemil kalau pagi, selain karena kalau pagi sudah pasti tidak terpegang saking banyaknya tugas lainnya. Lihat tumpukan uang hasil penjualan yang banyak itu menyenangkan, karena tidak di setiap toko bisa merasakan hal tersebut.

Hampir sebulan bergulat di toko ramai, menjelang lebaran saya dimutasi ke toko yang lebih ramai lagi. Dengan jarak yang lebih jauh dari kos, namun dengan pola shifting yang sama, 3 shift se hari. Pernah beberapa kali saya tertidur ketika mengendarai motor sepulang shift malam. Alhamdulillah masih selamat tanpa mengalami kejadian yang tidak diperlukan. Berada di toko baru ketika musim ramai tentunya bukan kondisi yang ideal. Saya dipaksa beradaptasi dengan waktu yang cukup cepat tanpa ada kesempatan menghapal nama dan karakteristik masing-masing karyawan. Selain tokonya lebih ramai, kondisi gudang di sini juga unik. Gudang tambahan kami berada di 2 lantai atas yang lokasinya cukup jauh. Saya rasa berat badan saya waktu itu turun cukup banyak. Dan lagi-lagi saya melewatkan waktu solat Id di lebaran tahun itu. Malam takbiran terlelah yang pernah saya rasakan. Saya bekerja shift pagi tapi pulang hampir bersamaan dengan shift siang. Bedanya, saya mendapatkan jatah cuti 3 hari mulai hari kedua lebaran. Jadi sore itu, selepas shift pagi dan menyerahkan tanggung jawab jaga toko ke salah seorang calon assistant manager, saya terbang ke kampung halaman.

Hari ini, di salah satu siang di bulan Ramadhan 2020, saya sedang mempersiapkan lebaran yang harus saya lewatkan sendirian. Rasanya berat, tapi ketika ingin mengeluh, “Hey, kamu pernah mengalami Ramadhan dan lebaran yang lebih melelahkan dari ini!”. Dan saya tidak sendiri. Yang mengalami hal yang sama dengan saya saat ini ada banyaaaakkkkk dan lebih banyak lagi yang kondisinya tidak senyaman saya. Setoples kue kiriman sahabat dan kiriman menu berbuka sudah lebih dari cukup. Baju baru pun tidak perlu secara khusus disiapkan, karena kostum terbaik ketika berada di kamar kos adalah daster. Jaringan internet yang masih bisa diandalkan pun sudah tersedia, jadi tidak ada halangan untuk bertatap muka dengan orang tua dan saudara yang seluruhnya berpencar-pencar. Jadi yang harus saya siapkan untuk lebaran tahun ini adalah rasa syukur sebanyak-banyaknya karena kami masih dalam kondisi sehat dan baik-baik saja di tengah kondisi yang tidak baik ini.

Jakarta, Mei 2020

Kamis, 12 Februari 2015

Oleh-oleh buku "Sabtu Bersama Bapak"

Buku terbaru yang selesai saya baca. Buku pertama dalam tahun 2015 ini, selain buku-buku tentang manajemen operasi yang bikin kepala berdenyut. Buku yang ringan, isi maupun harganya. Tapi, nilainya tidak seringan massa uang yang saya keluarkan ataupun air mata yang saya teteskan.


Setelah berburu buku ini di toko buku diskon, saya buru-buru menghabiskan isi cerita dalam beberapa jam saja. Skripsi saya, minggir sejenak. Ekspekstasi pertama buku ini adalah=>bikin nangis mengharu biru. Kenyataannya=>terharu di beberapa bagian, garing di bagian yang lain, ada juga bagian di mana saya geregetan. Well, tapi tetap saja buku ini menarik bagi saya, yang terbiasa membaca cerita dari sisi feminis, sedangkan buku ini ditulis oleh seorang pria dan menceritakan sisi pria yang jarang saya lihat.


Bagian yang bikin saya geregetan adalah: cerita yang agak tidak pas dengan waktu. Di awal cerita, tertanggal Januari 1993, Cakra berusia lima tahun. Lalu, di tengah cerita, tertanggal awal September 2016, pria ini berusia 30 tahun. Mungkin saya yang agak bodoh matematika, tapi di September 1993, katakan setelah Cakra ulang tahun, maka dia akan berusia 6 tahun, lalu 2016-1993=23. Nah setelah itu Saudara-saudara, 23+6(usia Cakra tahun 1993)=29 (usia Cakra tahun 2016). Lalu, ke mana sisa satu tahun umur Cakra? Apakah dia akselerasi? Atau penuaan dini?


Lalu, ketika tokoh Bapak bercerita tentang ijazah beliau. Bapak di tahun 1992 bercerita tentang ijazah yang didapatnya setahun sebelum menikahi ibu Itje (keterangan ini didapat dari beberapa bagian cerita, intinya sih gitu). Bapak mendapatkan IPK di bawah 3 dan kesulitan mencari kerja. Padahal ya, Bapak menikah tahun 1982, jadi kuliah ya paling tidak lulusnya 1981. Dari cerita Bapak saya yang waktu itu belum kuliah, kerja dengan bekal ijazah SMA saja sudah bagus, bisa jadi PNS. Dan dari orang tua teman-teman yang lain, tampaknya hal yang serupa juga terjadi. Yah, mungkin ini hanya jeritan manusia yang belum lulus di tahun ketujuh di bangku universitas.


Terakhir nih, ketika Bapak bercerita tentang Steve Jobs yang menciptakan Ipod. Sebentar, saya akan browsing dulu. .


....


Baik, sudah selesai. iPod, Saudara-saudara, dirilis pertama kali tahun 2001. Bagaimana bisa sosok Bapak menerawang akan terciptanya iPod di dunia? Bahkan nama Steve Jobs di tahun-tahun itu tampaknya belum dikenal di Indonesia (maafkan kalau saya sotoy). Nama orang hebat yang bekerja keras yang sering saya dengar di usia belia saya (saya lahir tahun 1989), adalah Pak Harto, anak petani yang bisa jadi presiden. Ada juga nama Pak Habibi, cita-cita anak kecil tahun 90an mungkin banyak yang ingin menjadi insinyur seperti beliau.


Oke, selesai saya nyinyirnya. Di samping hal-hal kecil yang membuat saya agak gerah tadi, banyak bagian yang membuat saya terharu. Mungkin saya terharu karena saya bisa relate cerita ini ke bapak saya. Sosok pria yang tidak sepenuhnya saya kenal. Yang ada dalam ingatan saya, hanya ketika bapak bersikap keras atas pilihan saya yang tidak sesuai dengan beliau. Jam kerja beliau yang padat ketika saya beranjak dewasa membuat saya lupa dengan sosok manis beliau ketika saya masih kecil, ketika bapak masih belum sesibuk sekarang. Saya menemukan beberapa foto lama dan saya lihat sosok bapak yang berbeda. Ah, memang, cerita tentang orang tua akan membuat kita sedikit tertegun, mengingat mereka akan mengingatkan betapa belum berbaktinya saya.


Hal yang membuat saya senang lainnya adalah nama sosok wanita di dalamnya, namanya mirip nama saya. Eh, mirip beberapa bagian nama saya. Dua per tiga nama wanita itu ada di dalam nama saya. Retna dan Ayu. Wahahahahahaha.... Dua kata terakhir nama saya adalah Retnaning Ayu, sedangkan mbaknya di dalam cerita adalah Ayu Retnaningtyas. Jadi, bolehlah saya geer nama saya banyak tercantum dalam cerita. Saya juga baru tahu loh, Retna itu artinya permata. Bapak saya saja ndak tau artinya. Yang bapak tau cuma kata “ning” yang artinya panggilan wanita di jawa timur dan “ayu” yang artinya juga dipahami oleh umat manusia di Indonesia.


Yap, begitu saja cerita saya yang panjang ini. Buku ini saya sarankan untuk semua pria dan wanita yang sudah cukup umur untuk dibaca. Walau pesan moral buku ini sangat berbobot, saya tidak menyarankan anak di bawah 17 tahun membaca cerita di novel ini. Ehm...ada beberapa bagian yang terlalu vulgar. Terutama yang sudah akan menikah, baca buku ini ya!




Kamis, 15 Januari 2015

Masalah Dunia yang Sulit untuk Dipecahkan

Salah satu masalah dunia yang sampai sekarang menghantui makhluk di muka bumi ini adalah: “akan makan apa?”. Apalagi sebagai anak kos, permasalahan ini datang tidak hanya sekali dalam sehari. Makan bersama teman, diskusi dengan tema “akan makan apa?” akan menghabiskan waktu yang tidak sebentar. Pun ketika makan sendirian. Kadang seringkali berakhir dengan melewatkan jam makan hanya untuk berpikir “akan makan apa?”.


Ini bukan hanya masalah untuk manusia yang hidup di kos-kosan, tapi untuk semua umat di dunia. Tanya saja pada para ibu rumah tangga. Tak jarang sampai ada rapat keluarga untuk menentukan menu harian. Lebih susah lagi kalau anggota keluarga yang dimintai pendapat menjawab dengan jawaban “apa aja” atau “terserah”. Kemudian kalau sudah dimasakkan masakan yang “terserah” si ibu, makanan tidak tersentuh.


Masalah ini benar-benar masalah seluruh umat, baik kaum miskin atau kaya. Untuk kaum miskin, “akan makan apa?” disebabkan tidak ada daya yang cukup untuk menghidangkan makanan, yang murah sekalipun. Untuk yang kaya, “akan makan apa” juga seringkali jadi masalah. Mau makan steak, kemarin sudah, mau makan caviar, dua hari lalu sudah, mau makan uang, rasanya nggak enak.


Masalah ini akan menjadi besar bagi orang yang peduli terhadap kesehatan, lingkungan, dan aspek lainnya. Barang ini tidak ada label halalnya, makanan itu tinggi kandungan gulanya, sedangkan yang ini produk dari perusahaan yang tidak peduli lingkungan. Kata teman saya, kalau tiap mau beli produk makanan harus baca labelnya, kita nggak akan beli apa-apa. Yah, begitulah manusia. Karena dianugerahi otak untuk berpikir, semua hal dipikirkan, termasuk makanan, salah satu bahan pokok untuk hidup.

Rabu, 12 November 2014

Oleh-oleh dari Nonton Masha and The Bear


Tahu film kartun Masha and The Bear? Yang tayang di salah satu televisi swasta di Indonesia dua kali sehari. Kalau sedang berada di rumah, ini tontonan wajib karena keponakan saya yang berusia setahun sangat suka film ini. Ceritanya lucu, tapi kadang menyebalkan. Si tokoh perempuan cilik ini tingkahnya bikin kepala puyeng.

Dari sekian banyak episode yang terus menerus diulang, ada satu episode yang menarik perhatian saya, Jam Season. Kurang lebih itu judulnya, isinya tentang Masha dan Bear yang membuat selai. Nah, jenis-jenis selai yang dibuat Masha ini macam-macam, lebih tepatnya aneh-aneh.



Masha sedang memasak selai sambil bernyanyi



Macam-macam selai yang dibuat Masha


Selai buah cheri sih biasa, tomat pun tidak aneh kalau dibuat sebagai selai, walau nggak utuh-utuh begitu bentuknya. Selai timun pun juga ada di dunia kuliner barat. Kalau di Indonesia timun paling hanya menjadi acar. Selai wortel? Yeiks, rasanya tidak bisa dibayangkan, tapi ada lo.. Bahkan selai jamur pernah ada yang membuatnya. Dari hasil pencarian saya di alat pencari Google, ada berbagai jenis jamur yang dijadikan selai, seperti shitake dan beberapa jenis jamur liar. Karena selai adalah cara untuk mengawetkan buah atau sayur dengan gula, jadi saya rasa hampir semua jenis buah dan sayur bisa dibuat selai. Karena tidak semua buah dan sayur mengandung pectin yang cukup untuk membentuk struktur selai, jadi bisa ditambah pectin.


Nah, itu jenis-jenis selai yang cukup aneh bagi saya dan sulit untuk dibayangka. Ada satu lagi jenis selai yang dibuat oleh Masha dan menurut saya itu sangat fiktif. Itu adalah selai buah pinus!! Bagaimana bisa kita makan buah pinus? Paling bagian dari buah pinus yang bisa dimakan hanya bijinya, bukan?



Selai buah pinus buatan Masha


Bukan Naning namanya kalau tidak iseng mencari di Google. Hasilnya, ternyata ada. Di daerah Ukraina ada yang membuat selai buah pinus. Bukan yang kering seperti di gambar sih, tapi buah yang masih muda, yang masih berwarna hijau. Selai ini dipercaya untuk mengobati diabetes, tapi saya masih sangsi, kan kandungan gulanya banyak, mana bisa untuk diabetes?

Ya begitulah pengalaman yang saya dapat dari menonton Masha ans the Bear. Walau hanya tontonan untuk anak kecil, bagi saya tontonan ini memberi ilmu baru di khazanah kuliner di otak saya. Mungkin lain kali saya bisa coba untuk membuat beberapa selai di atas. Hahaha...

Kamis, 18 September 2014

Oleh-oleh dari Pasar Beringharjo : Radio Bekas


Terbiasa mendengarkan suara radio dari bangun tidur sampai tidur lagi, ketiadaan radio di kamar agak mengganggu. Sebelumnya, di kamar kos ada dua buah radio, tapi sekarang satu radio saya kembalikan ke rumah, satu lagi saya kembalikan ke pemilik aslinya, kakak saya. Memang bisa sih, mendengarkan radio dari perangkat telepon genggam, sayangnya kurang nyaman. Agaknya membeli radio sendiri adalah jalan keluar yang baik.

Harga radio baru dengan merk P***s***c masih jauh dari jumlah uang yang saya punya. Kisaran harga radio baru di pasaran saat ini masih berada di level Rp. 180.000,00 sampai Rp. 200.000,00. Iseng yang diniati, saya pergi ke pasar Beringharjo. Di lantai 3 sayap utara, ada beberapa kios elektronik yang menyediakan barang bekas dan baru.

Wahaaa... Bahagia sekali di sini, ada banyak radio bekas yang saya incar, dengan berbagai model. Saya hanya mampir di satu kios saja, soalnya ibu penjualnya sudah ramah sekali, bahkan saya diperbolehkan mengobrak-abrik persediaan radio bekas di sana. Membeli barang bekas membutuhkan kejelian yang lebih daripada ketika membeli barang baru. Model yang kita inginkan belum tentu memiliki kondisi yang masih baik. Harus coba sana, coba sini, sampai yang paling oke ketemu. Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli radio 2 band yang seperti di gambar. Suara yang dihasilkan masih sangat bagus, walaupun sudah banyak goresan dan agak kotor. Ibu penjualnya berbaik hati menukarkan penutup rumah baterai dengan yang lebih bagus. Itu bonus karena saya nggak bisa menawar, jadi saya tetap harus membayar Rp. 85.000,00.

Radio masih memiliki penggemarnya. Salah satunya, saya.

Jumat, 02 Mei 2014

Oleh-oleh dari Asia Tengah: Trilogi karya Agustinus Wibowo


Sebagai pembaca pemula, saya pertama kali mendengar nama Agustinus Wibowo sekitar bulan Februari tahun lalu. Waktu itu, salah satu kawan kos memesan buku beliau yang akan terbit. Kawan saya salah satu orang yang beruntung untuk mendapatkan bukunya melalui pre-order. Sebelum ini saya adalah penikmat buku petualang anak-anak karangan Enid Blyton dan juga komik. Saya bukan termasuk orang yang mengikuti buku-buku yang baru terbit. Kembali ke buku Agustinus Wibowo. Buku pertama yang saya tahu adalah TITIK NOL. Impresi awal saya adalah saya menyukai sampul bukunya. Pemandangan langit biru, pemandangan yang sangat saya sukai.

Saya sangat menyukai buku ketiga dari Agustinus ini. Ceritanya tidak melulu tentang perjalanan layaknya buku travelling lainnya. Ini bukan buku perjalanan biasa, ini buku perjalanan hidupnya. Agustinus tidak saja menceritakan apa yang dia lihat, tapi juga apa yang dia rasakan. Cerita perjalanan keliling dunianya silih berganti dengan cerita mengenai tanah kelahirannya dan juga ibunya, keluarganya. Bagi saya, ini buku yang menggerakkan hati pembacanya. Tidak hanya sekali saya menitikkan air mata.

Penasaran, saya tertarik untuk membaca buku Agustinus yang lainnya. Sebagai mahasiswa pelit, saya berusaha mencari pinjaman. Masih dari kawan kos saya. Buku kedua yang saya baca adalah GARIS BATAS. Saya memilih buku ini juga dengan alasan sampul buku yang lebih menarik dari buku pertamanya, SELIMUT DEBU. Dari buku garis batas ini, menurut saya Agustinus benar-benar berhasil mengisahkan si garis yang membatasi. Betapa alam dan manusia bersatu padu menciptakan garis pembatas yang lebih sering tak kasat mata namun sangat terasa. Ketika kita melompati si garis pembatas, kita akan merasakan dunia yang berbeda. Penggambaran mengenai negara-negara “Stan” yang selama ini tidak pernah saya ketahui lebih dari sekedar nama ibu kotanya, sungguh di menyenangkan. Perjalanan yang menurut saya tidak mudah, walau mungkin lebih ringan dibandingkan perjalanannya di buku titik nol yang saya baca sebelumnya.

Terakhir, buku yang paling saya enggan untuk membacanya. Buku pertama Agustinus yang bercerita tentang perjalannya di Afghanistan. Judul dan sampul bukunya bagi saya sangat kelam, tidak terlalu menarik untuk saya baca. Sampai akhirnya ada diskon lumayan besar di toko buku terbesar di Indonesia. Waktu itu hanya ada satu buku Selimut Debu yang tersisa. Tanpa pikir panjang, saya ambil saja. Proses membaca buku ini juga lebih lama dibanding dua buku lainnya. Kisah perjalanan yang lebih kelam, lebih banyak darah berceceran, lebih banyak derita. Bukan saja derita penulis selama perjalanan, tapi juga penderitaan masyarakat yang ditemuinya. Entah manusia yang berubah untuk dapat bertahan hidup ataukah alam yang berubah menjadi kejam karena manusia tidak berperilaku baik. Mungkin saja keduanya terjadi saling saut-menyaut. Agutinus bercerita mengenai negara yang diselimuti perang, Afghanistan, tapi pikiran saya terbang mengelilingi tanah air saya, membayangkan masih banyak orang yang belum bisa kenyang ataupun merasakan kehangatan. Saya patut bersyukur masih bisa merasakan kekenyangan karena terlalu banyak makan, bahkan hingga obesitas, merasakan hangatnya selimut, merasakan udara yang sejuk, dan tentu dapat membaca banyak buku tanpa banyak kesulitan. Rasa syukur yang diikuti rasa bersalah karena belum bisa membagi kebahagiaan saya pada orang lain.

Senin, 24 Februari 2014

Oleh-oleh dari POSTCROSSING


Tada! Saya punya kegemaran satu lagi. Sekarang adalah saatnya berkorespondensi...! Bukan dengan surat, tapi dengan kartu pos. Sudah lama saya tidak berhubungan dengan hal-hal berbau pos. Duluuuu sekali saya pernah mengumpulkan beberapa SHP (Sampul Hati Pertama) dan kakak saya pernah mengumpulkan perangko. Dan itu sudah lamaaaaa sekali tidak kami hiraukan. Hingga akhirnya saya menemukan situs postcrossing.

Postcrossing ini situs yang unik menurut saya. Alih-alih menghubungkan orang-orang di dunia maya, situs ini menghubungkan orang yang tidak saling kenal secara nyata. Memang tidak mempertemukan orang secara fisik, tapi cukuplah kartu pos kita terima, itu termasuk hal yang nyata menurut saya. Ini cukup unik untuk saya. Seseorang di antah berantah mengirim kartu pos untuk orang yang juga tidak dia kenal. Kalau pengirimnya bukan orang yang memiliki niat, tidak mungkin kan dia sampai bersusah payah mengirim kartu pos untuk orang yang tidak dikenal.

Mengirim kartu pos saat ini bukanlah hal yang mudah. Saya yang saat ini lebih sering berada di Yogyakarta mungkin masih relatif mudah, mudah untuk mendapatkan kartu pos, perangko, juga kantor pos untuk mengirimkannya. Sayangnya, di beberapa daerah, termasuk di Magelang, kota asal saya, mengirim barang pos menggunakan perangko adalah hal yang lumayan rumit. Kantor pos memang masih berdiri gagah, tapi untuk mendapatkan perangko di kantor pos bukanlah hal yang mudah. Pernah suatu kali karena tidak menemukan gambar perangko yang menarik di kantor pos Yogyakarta, saya iseng ke kantor pos Magelang waktu pulang kampung. Di sana saya hanya mendapatkan dua perangko bernilai 5000 dan salah satunya sudah terobek sedikit. Itu bisa saya dapatkan setelah petugasnya mencar-cari di bagian dalam kantor. Lebih parahnya, tarif yang ditetapkan di kantor pos Magelang berbeda dengan tarif dari kantor pos besar Yogyakarta. Nilai perangko yang harus saya tempelkan di kartu pos saya sekitar 10.000 rupiah atau mau amannya bisa sampai 15.000. Jangankan di Magelang, sewaktu saya ke kantor pos cabang UGM, saya juga mendapatkan kesulitan yang sama seperti di kantor pos Magelang. Untuk kantor pos besar Yogyakarta tarif pengirimannya sebagai berikut:
-Asia 5.000
-Eropa 7.500
-Amerika 8.000

Untuk beberapa orang, mungkin biaya yang harus dikeluarkan untuk mengirim kartu pos terlalu mahal. Di zaman globalisasi saat ini akan lebih mudah dan lebih murah untuk bertemu secara maya. Untuk saya sendiri, mendapatkan kiriman yang dapat saya rasakan dengan panca indera tentu lebih menyenangkan. Mengirimkan kartu pos juga memiliki seni tersendiri. Menentukan kartu pos yang akan kita kirim, apakah akan membeli di toko atau membuat sendiri, memilih perangko yang menarik, dan juga menentukan waktu yang tepat karena sebagai mahasiswa yang tidak memiliki sumber keuangan yang mandiri, saya harus menyesuaikan dengan pengeluaran saya yang lain. Hobi mengirim kartu pos memang bukan hobi yang murah, tapi untuk saya, ini membuahkan kepuasan tersendiri ketika mengetahui orang yang menerima menyukai kartu pos kiriman kita, dan tentu ketika kita menerima kartu pos yang unik dari berbagai negara. Saya cinta kartu pos!