Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 13 Oktober 2012

Oleh-oleh dari Berpetualang

Kali ini saya tidak akan berbicara mengenai satu objek benda atau tempat secara spesifik. Saya ingin berbagi  mengenai aktivitas favorit saya sejak kecil, yaitu: BERPETUALANG. Kata yang saya pilih ada petualang karena kata ini sangat sering disebut di buku favorit saya, lima sekawan. Entah kenapa, berpetualang adalah obsesi saya dari kecil. Not a real adventure actually, tapi perjalanan bersama kawan-kawan sering saya bayangkan sebagai petualang ala lima sekawan. I was not alone that time, saya dan beberapa kawan bahkan berencana untuk membeli teropong, lup, dan kompas sebagai senjata untuk berpetualang.

Petualangan masa kecil saya memang bukan seperti petualangan lima sekawan yang sering berkemah atau bersepeda dan bertemu penjahat. Jadwal sekolah yang padat (sejak kelas 4 SD saya bersekolah sampai pukul 16.00) jelas memangkas kesempatan untuk bermain sepulang sekolah. Waktu yang bisa dimanfaatkan otomatis hanya hari minggu. Waktu itu biasanya kami bersepeda dari pagi hari, berkeliling kota. Tapi yang hingga kini masih saya ingat adalah ketika berjalan menyusuri sungai. Petualangan sepanjang sungai ini beberapa kali bisa terlaksana karena ada tugas sekolah. Yak, cerita detail tentang perjalanan menyusuri sungai akan saya tulis lain kali saja karena akan sangaaaat panjang.

Beranjak dewasa, saya masih sangat menggandrungi dengan yang namanya berpetualang. Masa SMP dan SMA tidak banyak memberikan jejak yang jelas di ingatan, tapi masa kuliah adalah masa keemasan. Tampaknya saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk berpetualang daripada kuliah. Petualangan untuk mengeksplor makanan biasanya. Awal kuliah hingga pertengahan, saya punya sahaat karib yang sering bersama ngalor-ngidul (bahasa jawa untuk utara-selatan/muter-muter nggak jelas) entah ke mana. Tapi, karena saya adalah yang terakhir tinggal di kampus, akhir-akhir ini saya lebih sering sendirian ketika berpetualang. Saat itulah saya mulai berpikir betapa cintanya saya dengan petualangan.

Berpetualang bukan bercerita mengenai tujuan akhir, tapi tentang perjalanannya. Berpetualang tidak bercerita mengenai hasilnya, tapi proses. Begitulah yang ada di dalam pikiran saya. Ketika melakukan perjalanan sendirian, banyak hal yang terbersit di otak, banyak hal dalam hidup yang bisa direfleksikan. Melihat apa yang ada di sekitar kita membuat hati dan pikiran terbuka. Udara yang sejuk ketika keluar dari kota membuat hati bahagia. Langit yang biru berhias dedaunan hijau membuat perasaan tenang. Kurang lebih itulah yang membuat saya sangat menikmati petualangan saya.

Petualangan yang dilakukan sendiri dan yang dilakukan bersama rekan tentu berbeda. Masing-masing memiliki kenikmatan tersendiri. Ketika berpetualang bersama kawan, yang satu pikiran tentunya, perjalanan akan terasa lebih seru. Dan yang pasti ada yang mengabadikan keberadaan kita di objek yang dituju. Tapi, seperti yang saya ceritakan tadi, saat ini saya lebih sering melakukan solo trip alias perjalanan seorang diri. Banyak orang yang bertanya kenapa saya melakukan ini. Awalnya memang karena terpaksa, saya sudah tidak sabar untuk berjalan-jalan, tapi tak ada teman yang mau ikut serta. Saat ini saya sudah terbiasa dan sangat menikmatinya. Perjalanan terakhir kemarin adalah ke 3 pantai di gunung kidul, Nguyahan, Ngobaran, dan Ngrenehan. Dan hampir semua perjalanan petualangan saya ini tidak direncanakan jauh-jauh hari. Paling pol satu hari sebelumnya. 

Perjalanan seorang diri sangat pantas disebut petualangan, apalagi kalau menuju tempat yang belum sama sekali pernah kita jamah. Herannya, walau selalu sampai di tujuan dengan tepat, perjalanan yang saya tempuh pasti berputar-putar. Itulah yang saya sebut petualangan. Nyasar! Ya, nyasar adalah bentuk petualangan saya. Walau berbekal peta, GPS, dan petunjuk orang, pasti tetap saja saya nyasar. Untungnya tujuan utama tetap akan tercapai. 

Perjalanan saya ke pantai Ngobaran bisa dibilang yang agak parah, karena saya nyasar dua kali, dan jaraknya hem....aduhai. Jalur yang saya tempuh saya dapatkan informasinya dari salah satu blog. Saya hanya baca sekilas dan saya tetap pada jalur yang benar sampai di pertengahan perjalanan, setelah itu saya ambil belokan ke kiri, dan ternyata saya kembali ke jalan Wonosari. Putar baliklah saya. Saya baca ulang blog itu, ada tulisan kalau kita harus belok kanan kalau bertemu pertigaan. Oke, saya percaya kali ini. Beberapa pertigaan saya lalui dan saya terus belok kanan. Dan berakhirlah saya di antah berantah. Saya cek GPS, lumayan jauh nyasarnya. Enggan menyusuri jalanan berlubang lagi, saya pikir saya bisa ambil jalur lain karena sebelum saya nyasar sejauh ini saya bertemu pertigaan, pasti saya akan muncul di pertigaan yang sama. Ow..ow..saya salah. Saya memang kembali ke jalur yang benar, tapi ini terlalu jauh dari jalur awal kenyasaran saya... Kalau dihitung dengan rumus Phytagoras, jalur pertama saya adalah garis miringnya, jadi bisa kebayang betapa jauhnya saya berjalan, dan ujungnya saya muter-muter. Itu belum semuanya, waktu pulang saya masih harus berurusan dengan rumus phytagoras karena saya berharap menemukan jalur baru, dan ternyata saya muncul di jalan yang saya lalui sebelumnya. 

Berbicara tentang nyasar memang tidak akan ada habisnya, karena itulah bentuk petualangan saya. Orang lan boleh berkata saya malang, tapi saya memang anak Malang, kota Malang maksudnya dan saya orang yang beruntung. Dengan nyasar, saya menemukan hal baru dalam petualangan saya.