Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 12 Februari 2015

Oleh-oleh buku "Sabtu Bersama Bapak"

Buku terbaru yang selesai saya baca. Buku pertama dalam tahun 2015 ini, selain buku-buku tentang manajemen operasi yang bikin kepala berdenyut. Buku yang ringan, isi maupun harganya. Tapi, nilainya tidak seringan massa uang yang saya keluarkan ataupun air mata yang saya teteskan.


Setelah berburu buku ini di toko buku diskon, saya buru-buru menghabiskan isi cerita dalam beberapa jam saja. Skripsi saya, minggir sejenak. Ekspekstasi pertama buku ini adalah=>bikin nangis mengharu biru. Kenyataannya=>terharu di beberapa bagian, garing di bagian yang lain, ada juga bagian di mana saya geregetan. Well, tapi tetap saja buku ini menarik bagi saya, yang terbiasa membaca cerita dari sisi feminis, sedangkan buku ini ditulis oleh seorang pria dan menceritakan sisi pria yang jarang saya lihat.


Bagian yang bikin saya geregetan adalah: cerita yang agak tidak pas dengan waktu. Di awal cerita, tertanggal Januari 1993, Cakra berusia lima tahun. Lalu, di tengah cerita, tertanggal awal September 2016, pria ini berusia 30 tahun. Mungkin saya yang agak bodoh matematika, tapi di September 1993, katakan setelah Cakra ulang tahun, maka dia akan berusia 6 tahun, lalu 2016-1993=23. Nah setelah itu Saudara-saudara, 23+6(usia Cakra tahun 1993)=29 (usia Cakra tahun 2016). Lalu, ke mana sisa satu tahun umur Cakra? Apakah dia akselerasi? Atau penuaan dini?


Lalu, ketika tokoh Bapak bercerita tentang ijazah beliau. Bapak di tahun 1992 bercerita tentang ijazah yang didapatnya setahun sebelum menikahi ibu Itje (keterangan ini didapat dari beberapa bagian cerita, intinya sih gitu). Bapak mendapatkan IPK di bawah 3 dan kesulitan mencari kerja. Padahal ya, Bapak menikah tahun 1982, jadi kuliah ya paling tidak lulusnya 1981. Dari cerita Bapak saya yang waktu itu belum kuliah, kerja dengan bekal ijazah SMA saja sudah bagus, bisa jadi PNS. Dan dari orang tua teman-teman yang lain, tampaknya hal yang serupa juga terjadi. Yah, mungkin ini hanya jeritan manusia yang belum lulus di tahun ketujuh di bangku universitas.


Terakhir nih, ketika Bapak bercerita tentang Steve Jobs yang menciptakan Ipod. Sebentar, saya akan browsing dulu. .


....


Baik, sudah selesai. iPod, Saudara-saudara, dirilis pertama kali tahun 2001. Bagaimana bisa sosok Bapak menerawang akan terciptanya iPod di dunia? Bahkan nama Steve Jobs di tahun-tahun itu tampaknya belum dikenal di Indonesia (maafkan kalau saya sotoy). Nama orang hebat yang bekerja keras yang sering saya dengar di usia belia saya (saya lahir tahun 1989), adalah Pak Harto, anak petani yang bisa jadi presiden. Ada juga nama Pak Habibi, cita-cita anak kecil tahun 90an mungkin banyak yang ingin menjadi insinyur seperti beliau.


Oke, selesai saya nyinyirnya. Di samping hal-hal kecil yang membuat saya agak gerah tadi, banyak bagian yang membuat saya terharu. Mungkin saya terharu karena saya bisa relate cerita ini ke bapak saya. Sosok pria yang tidak sepenuhnya saya kenal. Yang ada dalam ingatan saya, hanya ketika bapak bersikap keras atas pilihan saya yang tidak sesuai dengan beliau. Jam kerja beliau yang padat ketika saya beranjak dewasa membuat saya lupa dengan sosok manis beliau ketika saya masih kecil, ketika bapak masih belum sesibuk sekarang. Saya menemukan beberapa foto lama dan saya lihat sosok bapak yang berbeda. Ah, memang, cerita tentang orang tua akan membuat kita sedikit tertegun, mengingat mereka akan mengingatkan betapa belum berbaktinya saya.


Hal yang membuat saya senang lainnya adalah nama sosok wanita di dalamnya, namanya mirip nama saya. Eh, mirip beberapa bagian nama saya. Dua per tiga nama wanita itu ada di dalam nama saya. Retna dan Ayu. Wahahahahahaha.... Dua kata terakhir nama saya adalah Retnaning Ayu, sedangkan mbaknya di dalam cerita adalah Ayu Retnaningtyas. Jadi, bolehlah saya geer nama saya banyak tercantum dalam cerita. Saya juga baru tahu loh, Retna itu artinya permata. Bapak saya saja ndak tau artinya. Yang bapak tau cuma kata “ning” yang artinya panggilan wanita di jawa timur dan “ayu” yang artinya juga dipahami oleh umat manusia di Indonesia.


Yap, begitu saja cerita saya yang panjang ini. Buku ini saya sarankan untuk semua pria dan wanita yang sudah cukup umur untuk dibaca. Walau pesan moral buku ini sangat berbobot, saya tidak menyarankan anak di bawah 17 tahun membaca cerita di novel ini. Ehm...ada beberapa bagian yang terlalu vulgar. Terutama yang sudah akan menikah, baca buku ini ya!




Kamis, 15 Januari 2015

Masalah Dunia yang Sulit untuk Dipecahkan

Salah satu masalah dunia yang sampai sekarang menghantui makhluk di muka bumi ini adalah: “akan makan apa?”. Apalagi sebagai anak kos, permasalahan ini datang tidak hanya sekali dalam sehari. Makan bersama teman, diskusi dengan tema “akan makan apa?” akan menghabiskan waktu yang tidak sebentar. Pun ketika makan sendirian. Kadang seringkali berakhir dengan melewatkan jam makan hanya untuk berpikir “akan makan apa?”.


Ini bukan hanya masalah untuk manusia yang hidup di kos-kosan, tapi untuk semua umat di dunia. Tanya saja pada para ibu rumah tangga. Tak jarang sampai ada rapat keluarga untuk menentukan menu harian. Lebih susah lagi kalau anggota keluarga yang dimintai pendapat menjawab dengan jawaban “apa aja” atau “terserah”. Kemudian kalau sudah dimasakkan masakan yang “terserah” si ibu, makanan tidak tersentuh.


Masalah ini benar-benar masalah seluruh umat, baik kaum miskin atau kaya. Untuk kaum miskin, “akan makan apa?” disebabkan tidak ada daya yang cukup untuk menghidangkan makanan, yang murah sekalipun. Untuk yang kaya, “akan makan apa” juga seringkali jadi masalah. Mau makan steak, kemarin sudah, mau makan caviar, dua hari lalu sudah, mau makan uang, rasanya nggak enak.


Masalah ini akan menjadi besar bagi orang yang peduli terhadap kesehatan, lingkungan, dan aspek lainnya. Barang ini tidak ada label halalnya, makanan itu tinggi kandungan gulanya, sedangkan yang ini produk dari perusahaan yang tidak peduli lingkungan. Kata teman saya, kalau tiap mau beli produk makanan harus baca labelnya, kita nggak akan beli apa-apa. Yah, begitulah manusia. Karena dianugerahi otak untuk berpikir, semua hal dipikirkan, termasuk makanan, salah satu bahan pokok untuk hidup.