Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 14 Agustus 2012

Oleh-oleh dari Pegunungan Menoreh

Bisa dibilang saya adalah orang yang ngotot dan kekeh kalau sudah punya mau. Sayangnya, kebanyakan kengototan saya adalah untuk hal-hal yang tidak penting di waktu itu. Seperti sekarang, setelah bergelut dengan kompos dan bosan karena komposnya nggak jadi-jadi sedangkan embernya sudah penuh, sekarang saya tertarik dengan produk skin care buatan tangan.

Bermula dari entah apa, saya lupa, saya mulai berpikir untuk membuat peralatan skin care saya sendiri. Coba Anda lihat produk skin care Anda, seperti facial wash, toner, face cream, atau body lotion. Sebutkan bahan-bahan yang Anda ketahui jenisnya dan fungsinya. Kalau saya, yang bukan anak teknik kimia ataupun farmasi, hanya tahu bahan water, fragrance, beberapa jenis ekstrak seperti aloe vera, beberapa jenis minyak seperti jojoba atau lavender, dan.....tidak ada lagi. Nama-nama bahan kimia yang lain saya angkat tangan.

Tapi bukan Naning namanya kalau tidak mencari tahu. Dan saya akhirnya tahu bahwa nama-nama aneh itu adalah bahan kimia. Beberapa merupakan turunan dari petroleum. Bisa kalian bayangkan, bahan kimia entah apa itu, masuk ke dalam kulit kita, masuk ke saluran darah, dan bereaksi di dalam tubuh. Ketika orang ahli kimia membaca tulisan ini, mungkin mereka akan tertawa karena sikap saya yang meragukan produk kimia tersebut. Bahan-bahan itu memang dikatakan aman oleh badan terkait. Tapi, tetap saja, saya merasa sayang harus menyerahkan tubuh saya di bawah pengaruh bahan-bahan kimia yang tidak jelas bagi saya. Kok ya kalau saya, lebih memilih bahan alami.

Oke, kita sudahi pendahuluan tulisan kali ini. Jadi, setelah pencarian yang lama, saya putuskan untuk mencoba membuat produk skin care saya sendiri, dengan bahan-bahan alami. Produk seperti krim, lotion, atau lip balm ternyata terbuat dari tiga bahan utama, minyak, air, dan pengemulsi (emulsifier). Untuk bahan minyak, baiklah, walau hanya ada beberapa jenis minyak nabati di pasaran, saya masih bisa mendapatkan minyak zaitun atau grapeseed di supermarket. Untuk air, karena kulit saya kering, saya ingin mencoba air mawar yang bisa saya buat sendiri. Nah, untuk bahan terakhir, di beberapa tulisan yang saya baca, mereka menggunakan beeswax atau lilin lebah madu. Hem...baru kali ini saya tahu ada bahan macam ini. Pencarian online tidak membuahkan hasil yang menggembirakan, saya wajib membayar tunai kali ini, uang tabungan di bank sudah ditutup untuk kepentingan belanja online. Pencarian melalui teman juga nihil, hingga akhirnya saya mendapat informasi tentang peternak lebah madu di daerah Borobudur. Di daerah Ambarawa sebenarnya juga ada, tapi karena saya tidak akrab dengan daerah yang letaknya di utara rumah, saya memilih untuk ke Borobudur.

Desa Giritengah namanya, desa yang saya tuju. Saya tahu informasi daerah tersebut dari blog yang dibuat oleh pihak desa. Karena saya buta arah, saya sulit memahami petunjuk arah yang dicantumkan. Untuk bertanya pun, malu...(alah!). Setelah pusing tujuh keliling, bolak-balik karena ujung-unjungnya saya menemukan desa yang salah, saya akhirnya bertanya kepada salah satu warga. Daaaannn....TADAAAA...sampai juga di desa giritengah. Sampai di sana, tidak saya temukan ada tanda-tanda peternak lebah berada. Tanya lagi. Ternyata saya masih harus naiiiiiiiikkk ke arah perbukitan menoreh. Huah, lagi-lagi saya mendaki gunung menggunakan motor sendirian. Untung saja, jalannya sudah aspal, bukan batu yang ditata seperti waktu ke Gunung Kidul waktu itu. Saya juga sempat berpapasan dengan sepasang bule yang juga naik motor bersama anak mereka.

Pohon kaliandra (yang ada bunga warna merahnya)
Rumah peternak lebah yang saya tuju ternyata dekat dengan spot untuk melihat matahari terbit. Sempat saya lihat, nama tempat itu adalah Eden Sunrise. Mungkin dari situ si bule malam sebelumnya. Baru kali ini saya tahu. Untunglah peternak yang saya datangi belum membuang beeswaxnya. Si Bapak mematok harga Rp 20.000,00 per kilo. Karena tidak tahu harga normal di tangan petani, saya iyakan saja tawaran harga itu, toh si Bapak sudah memurnikan lilin dari sarang lebah. Lilin lebah yang saya dapat masih belum murni sekali, tapi sudah
terlihat lah bentuknya, kalau itu adalah lilin lebah. Dan apakah kalian tahu? Satu kilo beeswax adalah jumlah yang banyaaaak sekali, mengingat jumlah yang dibutuhkan untuk membuat setengah liter body lotion hanya beberapa gram. Oke, saya punya stok banyak untuk bahan ini akhirnya.


Oya, sebagai informasi, peternak lebah di desa Giritengah memelihara lebah di hutan pohon kaliandra. Dan madu yang dihasilkan berwarna kuning terang karena kandungan bipollen dari bunga kaliandra. Satu botol madau, isinya sekitar 600 ml dihargai Rp 75.000,00. Sayangnya, kantong saya adalah tipikal kantong mahasiswa, tipis. Saya masih harus menyimpan pundi-pundi uang saya untuk membeli bahan yang lain.
sarang lebah madu

Sabtu, 11 Agustus 2012

Oleh-oleh dari Pasar Burung

Ini cerita perjalanan saya minggu lalu, waktu hari pasaran Pahing. Pahing adalah waktu pasaran di pasar burung Magelang. Ketika hari itu datang, wah, pasar jadi sangaaaaat ramai sekali. Buat saya, pasar burung adalah salah satu tempat tujuan wisata. Sejak saya masih SD, Bapak sering sekali mengajak saya ke pasar burung setiap Pahing. Waktu itu sih, saya diajak karena kerjaan saya di rumah cuma bengong. Tapi, lama-lama pergi ke pasar burung bersama Bapak jadi seperti kewajiban. Saya wajib membantu menggotong sangkar burung dari rumah ke pasar dan begitu pula waktu pulangnya.

Setelah lama meninggalkan kewajiban itu karena kegiatan perkuliahan saya di Jogja, jalan-jalan ke pasar burung kemarin menjadi sarana temu kangen saya dengan para burung di sana (halah!). Bayangan saya akan pasar burung di waktu hari Pahing adalah pasar yang ramai, ramai tidak hanya oleh perburungan. Di sana itu ya, ada tukang jagal ular, ularnya ular kobra, penjual perkakas (entah kenapa dari kecil saya suka lihat dagangan perkakas), penjual baju, mainan, dan lainnya. Jadi pasar burung sudah layaknya pasar tumpah, semua ada. Itulah kenapa, walau saya harus menggotong sangkar yang lebih besar dari badan saya dan berat karena melawan angin, saya masih saja mau ikut Bapak dulu. Belum lagi suasana pasar yang juga mirip kebun binatang, ada berbagai macam burung dari yang murah sampai yang jutaan, musang, kucing, tupai, ah sangat menyenangkan.

Datang ke pasar setelah sekian lama absen dari Pahingan, ekpektasi akan kesenangan yang akan ditemui semakin besar. Dan sampailah saya ke sana, masih bersama Bapak tapi tanpa membawa sangkar segede gaban. Hari ini saya tidak membawa sangkar, tapi membawa dua pot lumayan besar yang isinya pohon puring. Alamak, sebelum sampai pasar, Bapak melihat penjual pohon di pasar besar. Jadi, begitu sampai, muka saya berubah jadi annoyed. Mungkin bapak tahu saya enggan membawa-bawa pot itu, jadilah bapak yang membawa, dibawa keliling pasar (ah, maafkan anakmu ini ya Pak).

Pasar burung sekarang lebih kecil, mungkin karena dibagi dua untuk pasar ikan di sebelahnya. Dan karena sekarang bulan puasa, aroma masakan dari makanan membuat saya jengkel, belum lagi asap rokok. Banyak juga orang yang tidak berpuasa di sini. Dan yang lebih gawatnya lagi, sekarang saya sudah menjadi seorang wanita. Berada di kerumunan laki-laki membuat saya agak risih, apalagi saya tidak memakai jilbab yang panjang. Agak bagaimanaaaa gitu rasanya. Bapak penjagal ular juga tidak lagi membawa ular hidup, hanya beberapa gulung kulit ular dan organ dalam ular.

Saat ini burung yang sedang menjadi hot thread adalah burung kecil berwarna hijau bernama burung pleci! Harganya murah-meriah, hanya berkisar 50.000 rupiah saja. Suaranya juga keras, melengking kalau menurut saya. Tampaknya Bapak berniat untuk menambah koleksi burung di rumah. Jadilah beliau berhenti dan mengamati burung mana yang suaranya bagus. Pengamatan ini berlangsung sangaaaat lama, dan tugas menjaga pot berpindah ke tangan saya. Karena bosan, saya angkat saja pot itu dan berjalan mendekati bapak. Tampaknya bapak tahu kalau saya sudah bosan di sana. Dan akhirnya kami pulang tanpa saya harus merengek, setelah bapak membeli burung pilihannya tentunya.

sekawanan burung pleci bersama dalam satu sangkar (kasian liatnya..)

Kamis, 02 Agustus 2012

Masih oleh-oleh dari membuat kompos

Membuat kompos itu mungkin seperti punya seorang bayi. Saya belum memiliki anak sih, tapi ya saya sedikit -sedikit tahu lah bagaimana rasanya. Dulu saya pikir membuat kompos dari sampah rumah tangga itu seperti menjetikkan jari. Tapi karena belum pernah terjun langsung untuk membuat sendiri, saya masih belajar banyak hal.

Usia kompos yang saya buat belum juga sampai usia satu minggu, saya sudah tidak sabar untuk melihat hasil akhirnya. Daripada menunggu hasil yang masih lama datangnya, saya berusaha untuk menikmati prosesnya saja. Dua hari terakhir ini saya perhatikan, tumpukan sampah dalah ting komposter memiliki bentuk yang sangat tidak cantik. Well, saya juga nggak tahu parameter cantik untuk kompos itu seperti apa. Yang pasti, tumpukan sampah itu menjadi sangat menjijikkan. dan yang utama adalah, bau.

Dilihat-lihat, ada yang kurang dari komposisi kompos ini. Hem..terlalu basah rupanya. Sistem drainase composter tidak terlalu baik. Air penyiraman yang berlebih tidak keluar dan terkumpul di dasar. Akhirnya saya putuskan untuk menambah daun-daun kering. Pertanyaannya, dari mana saya dapatkan daun kering ketika rumah saya yang sekarang tidak memiliki pohon besar? Ada memang di sekitar rumah, tapi saya sebagai warga baru di sini sangat gengsi untuk mengumpulkan daun kering dengan tangan. Duh... Karena masih merasa komplek rumah sakit sebagai rumah, daun-daun kering dari sana saya impor ke komplek rumah yang baru. Hasilnya, composter saya kepenuhan sebelum semua daun kering bisa tertampung! Hahahaha...

Ah, tidak sabar saya untuk bisa melihat kompos sudah yang sudah jadi. Secepatnya.