Seharusnya tanggal 20 Mei ini saya akan terbang menggunakan pesawat Batik dengan rute HLP-JOG sepulang hari terakhir menjelang hari raya Idul Fitri. Tapi manusia hanya bisa berencana. Tiket penerbangan tersebut sudah saya refund dan sekarang saya harus mempersiapkan lebaran seorang diri. Tanpa di dekat orang tua, saudara, kerabat, kawan masa kecil, dan lainnya seperti waktu-waktu yang lalu.
Sedih? Tentu. Tapi ini bukanlah lebaran pertama saya jauh dari keluarga. Tahun 2016-2017 saya sudah pernah merasakan suasana puasa lebaran yang lebih berat. Tidak sepenuhnya berat sih, karena saya tetap berusaha menikmatinya. Itu merupakan tahun-tahun saya bekerja di dunia ritel. Tahun pertama ramadhan bekerja di dunia ritel terasa lebih ringan karena saya tinggal bersama sahabat ketika kuliah dulu. Saya masih anak baru dan dia merupakan senior, gaji saya masih belum 100% dan dia sudah menikmati bonus. Dan karena kebaikannya, saya hidup sebagai parasit, mengandalkan teman saya selama di perantauan. Selain kawan lama, di perantauan ini saya juga bekerja bersama seorang kakak kelas yang menjadi atasan langsung saya di toko. Another person I can leached on, menang banyak.
Sepanjang Ramadhan saya harus bekerja keras bagai kuda. Beras 5 kiloan sudah seperti bola voli, lempar sana lempar sini. Tumpukan minyak goreng kartonan tidak terhitung berapa banyaknya harus segera dipajang. Belum lagi daging, ayam, ikan yang peminatnya juga minta ampun. Lelah, tapi saya bahagia. Terutama ketika di hari itu tidak ada komplain dari pelanggan. Orang berpuasa dan antrian itu tidak bersahabat, jadi biasanya adaaaa saja pelanggan yang membuat kami harus bernapas lebih panjang. Dan seberapa pun beratnya saya tidak bisa berkeluh kesah panjang-panjang, karena ini jalan yang saya pilih sendiri secara sadar. Selain itu, tim di toko sudah seperti saudara sendiri. Namun sayangnya, setelah drama yang cukup menguras tenaga, saya harus melewatkan lebaran seorang diri, karena kawan saya harus mutasi dadakan dan atasan saya tentu mendapat hak untuk cuti di hari pertama lebaran.
Saya masih ingat di malam takbiran toko masih sangat ramai. Masih banyak orang yang berbelanja partai besar dan saya harus pulang cukup larut, walau esok harinya saya masih harus bekerja sejak shift pagi. Tampaknya saya terlalu lelah malam itu. Saya baru terbangun ketika mendengar suara tetangga yang sibuk saling menyapa sepulang dari solat Id. Saya melewatkan waktu solat Id perdana saya di perantauan.
Di tahun berikutnya pun saya masih menghabiskan waktu Ramadhan di toko. Bedanya saya ditempatkan di salah satu toko teramai selama musim seasonal puasa, yang sales per harinya bisa mencapai satuan Milyar Rupiah. Saya rasa selain bekerja, waktu saya hanya habis untuk tidur. Waktu bekerja pun tidak cukup hanya 8 jam sehari. Tampilan awal shift yang rapi jali pasti berakhir acak-acakan, rasanya seperti sehabis pergi ke medan perang, terutama sehabis pulang shift malam. Kami selalu merasa ngeri bila ada mobil ekspedisi yang datang adalah truk tanpa tail gate, yang artinya kami harus bongkar manual. Tidak ada bedanya wanita atau pria, saya pun tetap harus ikut mengangkut barang. Tapi kalau barangnya sudah berupa gula sak-sakan saya mundur teratur, tahu diri lah. Pernah sepulang shift malam, saya mendapati tangan yang jadi hijau, dari telapak tangan hingga pergelangan tangan. Awalnya kaget, “Waduh kenapa pula ini? Saking kecapekannya kah?” pikir saya waktu itu. Tapi ternyata bukan, itu hanya tanda saya sudah mengangkat berpuluh-puluh atau beratus kardus sirup. Cat kardusnya luntur ke tangan saya.
Ada satu lagi tugas yang melelahkan tapi membuat senyum saya lebar tidak tertahan, menghitung sales. Pernah lihat uang 1 miliar cash? Saya bisa sombong, saya pernah, padahal saya tidak bekerja di bank. Menghitung uang itu membuat ngantuk lo, kepala kasir saya sampai hapal dan suka geregetan kalau saya lama sekali menghitungnya apalagi kalau salah-salah hitungnya. Karena itu biasanya dia menyediakan cemilan agar saya tetap bisa melek. Thats why kadang di bulan puasa sales sudah dihitung malam harinya, karena saya tidak bisa menghitung sales sambil ngemil kalau pagi, selain karena kalau pagi sudah pasti tidak terpegang saking banyaknya tugas lainnya. Lihat tumpukan uang hasil penjualan yang banyak itu menyenangkan, karena tidak di setiap toko bisa merasakan hal tersebut.
Hampir sebulan bergulat di toko ramai, menjelang lebaran saya dimutasi ke toko yang lebih ramai lagi. Dengan jarak yang lebih jauh dari kos, namun dengan pola shifting yang sama, 3 shift se hari. Pernah beberapa kali saya tertidur ketika mengendarai motor sepulang shift malam. Alhamdulillah masih selamat tanpa mengalami kejadian yang tidak diperlukan. Berada di toko baru ketika musim ramai tentunya bukan kondisi yang ideal. Saya dipaksa beradaptasi dengan waktu yang cukup cepat tanpa ada kesempatan menghapal nama dan karakteristik masing-masing karyawan. Selain tokonya lebih ramai, kondisi gudang di sini juga unik. Gudang tambahan kami berada di 2 lantai atas yang lokasinya cukup jauh. Saya rasa berat badan saya waktu itu turun cukup banyak. Dan lagi-lagi saya melewatkan waktu solat Id di lebaran tahun itu. Malam takbiran terlelah yang pernah saya rasakan. Saya bekerja shift pagi tapi pulang hampir bersamaan dengan shift siang. Bedanya, saya mendapatkan jatah cuti 3 hari mulai hari kedua lebaran. Jadi sore itu, selepas shift pagi dan menyerahkan tanggung jawab jaga toko ke salah seorang calon assistant manager, saya terbang ke kampung halaman.
Hari ini, di salah satu siang di bulan Ramadhan 2020, saya sedang mempersiapkan lebaran yang harus saya lewatkan sendirian. Rasanya berat, tapi ketika ingin mengeluh, “Hey, kamu pernah mengalami Ramadhan dan lebaran yang lebih melelahkan dari ini!”. Dan saya tidak sendiri. Yang mengalami hal yang sama dengan saya saat ini ada banyaaaakkkkk dan lebih banyak lagi yang kondisinya tidak senyaman saya. Setoples kue kiriman sahabat dan kiriman menu berbuka sudah lebih dari cukup. Baju baru pun tidak perlu secara khusus disiapkan, karena kostum terbaik ketika berada di kamar kos adalah daster. Jaringan internet yang masih bisa diandalkan pun sudah tersedia, jadi tidak ada halangan untuk bertatap muka dengan orang tua dan saudara yang seluruhnya berpencar-pencar. Jadi yang harus saya siapkan untuk lebaran tahun ini adalah rasa syukur sebanyak-banyaknya karena kami masih dalam kondisi sehat dan baik-baik saja di tengah kondisi yang tidak baik ini.
Jakarta, Mei 2020