Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 02 Mei 2014

Oleh-oleh dari Asia Tengah: Trilogi karya Agustinus Wibowo


Sebagai pembaca pemula, saya pertama kali mendengar nama Agustinus Wibowo sekitar bulan Februari tahun lalu. Waktu itu, salah satu kawan kos memesan buku beliau yang akan terbit. Kawan saya salah satu orang yang beruntung untuk mendapatkan bukunya melalui pre-order. Sebelum ini saya adalah penikmat buku petualang anak-anak karangan Enid Blyton dan juga komik. Saya bukan termasuk orang yang mengikuti buku-buku yang baru terbit. Kembali ke buku Agustinus Wibowo. Buku pertama yang saya tahu adalah TITIK NOL. Impresi awal saya adalah saya menyukai sampul bukunya. Pemandangan langit biru, pemandangan yang sangat saya sukai.

Saya sangat menyukai buku ketiga dari Agustinus ini. Ceritanya tidak melulu tentang perjalanan layaknya buku travelling lainnya. Ini bukan buku perjalanan biasa, ini buku perjalanan hidupnya. Agustinus tidak saja menceritakan apa yang dia lihat, tapi juga apa yang dia rasakan. Cerita perjalanan keliling dunianya silih berganti dengan cerita mengenai tanah kelahirannya dan juga ibunya, keluarganya. Bagi saya, ini buku yang menggerakkan hati pembacanya. Tidak hanya sekali saya menitikkan air mata.

Penasaran, saya tertarik untuk membaca buku Agustinus yang lainnya. Sebagai mahasiswa pelit, saya berusaha mencari pinjaman. Masih dari kawan kos saya. Buku kedua yang saya baca adalah GARIS BATAS. Saya memilih buku ini juga dengan alasan sampul buku yang lebih menarik dari buku pertamanya, SELIMUT DEBU. Dari buku garis batas ini, menurut saya Agustinus benar-benar berhasil mengisahkan si garis yang membatasi. Betapa alam dan manusia bersatu padu menciptakan garis pembatas yang lebih sering tak kasat mata namun sangat terasa. Ketika kita melompati si garis pembatas, kita akan merasakan dunia yang berbeda. Penggambaran mengenai negara-negara “Stan” yang selama ini tidak pernah saya ketahui lebih dari sekedar nama ibu kotanya, sungguh di menyenangkan. Perjalanan yang menurut saya tidak mudah, walau mungkin lebih ringan dibandingkan perjalanannya di buku titik nol yang saya baca sebelumnya.

Terakhir, buku yang paling saya enggan untuk membacanya. Buku pertama Agustinus yang bercerita tentang perjalannya di Afghanistan. Judul dan sampul bukunya bagi saya sangat kelam, tidak terlalu menarik untuk saya baca. Sampai akhirnya ada diskon lumayan besar di toko buku terbesar di Indonesia. Waktu itu hanya ada satu buku Selimut Debu yang tersisa. Tanpa pikir panjang, saya ambil saja. Proses membaca buku ini juga lebih lama dibanding dua buku lainnya. Kisah perjalanan yang lebih kelam, lebih banyak darah berceceran, lebih banyak derita. Bukan saja derita penulis selama perjalanan, tapi juga penderitaan masyarakat yang ditemuinya. Entah manusia yang berubah untuk dapat bertahan hidup ataukah alam yang berubah menjadi kejam karena manusia tidak berperilaku baik. Mungkin saja keduanya terjadi saling saut-menyaut. Agutinus bercerita mengenai negara yang diselimuti perang, Afghanistan, tapi pikiran saya terbang mengelilingi tanah air saya, membayangkan masih banyak orang yang belum bisa kenyang ataupun merasakan kehangatan. Saya patut bersyukur masih bisa merasakan kekenyangan karena terlalu banyak makan, bahkan hingga obesitas, merasakan hangatnya selimut, merasakan udara yang sejuk, dan tentu dapat membaca banyak buku tanpa banyak kesulitan. Rasa syukur yang diikuti rasa bersalah karena belum bisa membagi kebahagiaan saya pada orang lain.

1 komentar:

Avisenna Pramitasari mengatakan...

folbek ya ning ^^

Posting Komentar